Tutorial Patah Hati

Bima Anditya
5 min readAug 19, 2022

--

Kamu ini tertinggal atau ditinggal?

Dia berdiri di depan pelaminan. Memandangi dari jauh mempelai sambil makan sate ayam. Ia terlihat muram. Sesekali menunduk durja dan memainkan tusukan satenya.

Mungkin ada dua alasan: apakah ia sedih dengan mantannya yang telah menikah itu atau sate ayamnya gak enak?

Karena rasa penasaranku tinggi, ya sudah aku dekati dia. Menepuk pundak dan langsung berkata dan sedikit berteriak, “Tidur!”.

“Dalam hitungan ke-77 Anda akan tertidur lebih lelap. Lebih dalam. Lebih asoy,”

Uopose kon iku,” sahutnya dengan sedikit simpul senyum.

“Nah ngono rek senyum, merengut ae. Sahabatmu lagi bahagia yo haruse ikut seneng toh?”

“Hmm, nggak, iki, nganu, piye yo ngomonge…satene gak enak,” jawabnya bisik-bisik.

Cuk. Bener batinku. Perasaan enak kok. Yowis iki (sate) tak makan. Awakmu njupuk laine,” balasku.

“Yo. Oke”.

Meski sudah lama gak ketemu, jawaban itu sepertinya bukan yang sebenarnya.

Mungkin ada rasa sedih juga karena perempuan yang duduk di kursi berdekorasi bunga-bunga cantik warna putih itu adalah pujaan hatinya.

Gak lama ia kembali dengan sepiring nasi, mi, daging oseng, kerupuk dan mangkuk kecil di atasnya.

Tapi, berasa ada yang aneh. Bikin bingung.

Saat kuperhatikan, mangkuk kecil itu kosong. Gak asa isinya. Kan harusnya ada sup?

Ya langsung kutanya dong, “Kok kosong?”

“Iya. Mau aku isi dengan air mataku,” jawabnya lirih.

Uopose arek iki,” sahutku. “Habis ini kita foto, ayo behave, santai ae”.

Nggak lama kita menuju pelaminan. Temanku berjalan dengan kepala tegak. Meski memakai masker aku bisa melihat senyumnya.

Sesudah selesai berfoto bersama dengan gaya two-thumbs-up-style, kami turun dan beranjak ke luar gedung. Tentu saja sebelum pulang, kami mengambil suvenir.

“Lagi selow gak? Lanjut ngops-ngops yuk,” tanyanya.

“Yo, let’s go, sama arek-arek sekalian”.

Sembari menunggu teman kami yang masih makan, aku ingin sekali membuka suvenirnya. Karena dibungkus apik dengan tanggal pernikahannya, tagline #sElamAnya serta inisial nama pengantinnya: A & E.

Tapi kata temanku, “ Jangan dibuka di sini lah. Di rumah aja. Gak sopan”.

Tapi apa ya isinya?

Sudah duduk di tempat ngopi, dia langsung berkata, “Rasanya pingin jadi robot, gak punya perasaan”.

“Atau punya pacar atau istri robot, biar gak menyakiti,” sambil nge-sruput kopinya.

Teman-teman langsung sontak riuh mengumpat. Ada yang nge-puk-puk. Ada juga yang mengajak selfie yang ternyata bukan untuk instastory, tapi untuk WhatsApp Story. Entah kenapa.

Justru kalimat dari temanku yang hatinya sedang ambyar itu, membuka ruang obrolan yang luas, membuat jam berdetik terlalu cepat, hingga aku ingat sampai sekarang.

Diskusi bermula dengan seorang kawan menunjukkan kalau sudah ada robot yang menyerupai manusia. Para tech guy dan company, sedang memformulasikan kodingan-nya dengan mempelajari berbagai “perasaan” mulai dari wajah, intonasi suara, dan gestur seluruh badan ke robot buat agar memiliki perasaan.

“Asli, ngeri juga ya!” kata seorang teman.

Tapi, pembicaraan robot dan artificial intelligent (AI) ini membuat pertemanan kami terpecah menjadi dua kelompok. Kubu pertama, aku menyebutnya sebagai utopia. Kubu lawan adalah dystopia.

Kelompok utopia ini berpandangan kalau bangkitnya AI ini justru adalah bentuk terakhir dan peluang untuk membantu manusia dalam segala urusan masalah yang ada. Ujung-ujungnya adalah mengalahkan kepunahan.

Bayangkan berapa banyak masalah hidup kita yang makin mudah dibantu dengan adanya AI. Laptop, Gojek, handphone, robot di pabrik, dan sebagainya. Khas pemikiran Ray Kurzweil seorang guru-in-residence di Google.

Sementara kubu dystopia ini menganut pemikiran Elon Musk. Karena kata pemiliki Tesla ini adalah “AI is the biggest risk we face as civilization”. Bukan seperti terminator, tapi justru menjadi sebuah ‘produk’ yang bisa memahami banyak hal seperti kimia, fisika, nanoteknologi, dengan mudah.

Semua bisa dipelajari dengan cepat dibanding manusia. Di saat itu lah, jika teknologi itu berada di tangan yang salah, ya bisa habislah kita di dunia ini. Padahal kan pinginnya jauh dari kepunahan. Ini malah langsung punah seperti jentikan jari Thanos. Kebayang gak sih?

Kira-kira kamu berada di kubu yang mana?

Perdebatan ini cukup panas. Bahkan es kopi susu teman-teman juga ikut menjadi hangat. Tapi menariknya kedua kubu setuju bahwa AI bakal mengocok ulang sistem ekonomi dan politik dunia.

Ini beberapa hal yang aku ingat:

  1. AI dan robot akan memperbesar kesenjangan antara “the-have” & “the-have-nots”

Siapa perusahaan penghasil banyak duit sekarang ini? Sudah jelas Google, Facebook, Microsoft, Apple, Tesla dan perusahaan teknologi lainnya. Semua uang di dunia ini mengalir deras ke mereka.

Maka tentu siapapun yang menguasai dan ilmu teknologi itu bisa dipastikan akan bergelimang emas. Sementara untuk yang tidak memiliki kemampuan teknologi cuma bisa gigit jari dan hidup dibayang-bayangi kemiskinan.

Sekarang pun sudah terlihat. Banyak lapangan pekerjaan yang tutup karena emang lebih efektif dan efisien menggunakan AI.

Bahkan juga terlihat kalau seseorang yang memiliki gelar sarjana, master, hingga doktor yang terspesialisasi pun belum tentu mendapatkan keamanan pekerjaan jika head-to-head dengan mesin AI. Kubu dystopian sangat mendukung argumentasi ini.

2. Amerika Serikat (AS) dan Cina punya cara sendiri untuk mengembangkan AI

Saat ini yang punya teknologi canggih dalam AI adalah AS dan Cina. Namun, mereka punya caranya tersendiri. Contoh singkatnya AS lebih membangun teknologi AI untuk profitabillity (keuntungan) sementara Cina membangun untuk prosperity (kesejahteraan).

Coba lihat Instagram dan TikTok. Terasa, ya, bedanya?

Instagram hanya menampilkan konten-konten yang “populer” dan memiliki followers banyak. Sementara TikTok, semua bisa ‘viral’. Asal kontennya bagus. Di sini titik tumpunya terasa berbeda.

Instagram mensandarkan algoritmanya pada konten kreator tertentu, sementara TikTok mensandarkan algoritmanya kepada siapapun yang memiliki konten bagus. Bahkan TikTok sangat digandrungi oleh semua orang saat ini karena bisa jualan dengan mudah. Dan menariknya, semua berhak cuan.

3. Butuh social contract baru

Founder Google, Larry Page, bahkan mengatakan kalau bakal banyak pekerjaan yang hilang karena adanya AI. Para dedengkot Silicon Valley memberikan ide untuk melakukan 3 R: retraining workers, reducing work hours, atau redistributing income.

Retraining workers adalah cara yang sangat didukung utopian. Semua orang harus dilatih kembali dengan kemampuan masa kini dan menjadi “longlife learner” agar tak tertinggal zaman.

Larry Page juga mengajukan pemikiran radikal reducing work hours. Mengurangi jam kerja karyawannya menjadi empat hari tujuannya untuk menyebarkan pekerjaan pada yang terdampak.

Lalu terakhir redistributing income dengan konsep yang didukung Elon Musk yaitu “Universal Basic Income” (UBI). Intinya sih kamu semua bakal dapat duit setiap bulannya untuk kebutuhan sehari-hari tanpa bekerja.

Mantap sih kayaknya? Tapi, pasti bakal banyak dampaknya. Ini bakal aku ulas di tulisan yang berbeda.

Nah, kira-kira Indonesia bakal terapin yang mana, ya? Atau ada cara lain untuk mengatasi ini semua? Semoga para pejabat sudah mikirin ini ya.

4. Harus ada cetak biru bersama seluruh negara tentang AI

Yakali gak ada? Masalahnya AI bakal terus berkembang cepat. Harus ada cara bagaimana manusia hidup bersama AI. Karena dampaknya banyak banget bahkan sampai ke lapisan masyarakat paling bawah.

Kenapa harus bareng-bareng? Karena ini sudah lintas batas negara dan gak bisa dilakukan sendirian deh kayaknya. Iya gak sih?

Asli pertemuan itu bikin aku capek tapi di saat yang sama membuat aku dan teman-teman paham bahwa ada yang lebih penting daripada sebuah patah hati.

Ingin rasanya terus ngobrol tentang ini, tapi hari sudah mulai gelap. Semua punya urusannya masing-masing. Tapi kami berjanji untuk saling update tentang AI ini ke grup WA. Soalnya ini berhubungan dengan hajat hidup teman-teman semua.

Kami pun pulang dengan rasa masih penasaran. Aku juga pulang dengan hujan tanda tanya.

Bagaimana dunia ini ke depan? Apakah aku akan tertinggal atau ditinggal? Gimana caranya meninggalkan berbagai pemikiran kolot dan melangkah ke depan?

Ah, aku nggak tahu.

Aku sudah di rumah, beberes, mandi dan rebahan di kasur. Tiba-tiba temanku yang patah hati ini nge-chat.

“Bim, kamu tahu gak apa isi souvinernya?”

“Gak tahu belum tak buka, opo emange?”

“Ternyata isinya handuk ada inisial nama mereka berdua. Pas banget handukku dicuci. Jadi tak pakai aja. Tapi kok….,”

“Tapi opo?”

“Pas aku handukkan kok rasane kayak dipeluk mereka berdua,” katanya.

Lalu, nggak aku balas.

Reading Chamber | 20 Agustus 2022 | 00:49 WIB

--

--

Bima Anditya

A Wisdom-seeker. Find it through melody, words, and jokes.