Berdendang Bersama Mampang

Bima Anditya
2 min readSep 17, 2022

--

Kamu dan saya adalah kawan dalam kekalahan

“Mas tahu Coach Hafidin? Mentor poligami? Saya ikutan. Karena saya dapat hidayah lewat iklan di Facebook. Mungkin itu yang Allah mau,” kata lelaki paruh baya itu.

Sambil ngudud, ia bercerita proses meminang istri kedua dan nggak izin pada istri pertama. Tone suaranya bulat. Terlihat percaya diri tanpa keraguan. Kebulan asap Dji Sam Soe jadi penanda titik dan koma dari kisahnya.

Sebenarnya aku ingin mengakhir percakapan ini setelah sebat. Berhubung beliau menghisap Sam Soe, jadi baranya lama banget.

Gak lama seorang kawan bapak itu ikut nimbrung dan mengatakan, “Anaknya sudah enam nih, Mas. Rajin banget dah. Soalnya tiap pagi sama malem kerjaannya ‘numpuk’ hehehe”.

Semua tertawa. Termasuk aku. Tapi, dalam hati, “Kok bisa sih?”

Bapak paruh baya itu sepertinya memahami gesturku yang berubah. Kemudian ia bercerita kalau hidupnya jauh dari rasa khawatir. Karena ini jalan yang diinginkan Allah.

Aku suka ketaatannya, percayanya, dan cara beliau berserah pada Yang Esa. Tapi rasanya kok tetap saja ada yang ganjal. Ah, mungkin hatiku gak sebersih bapak ini.

Sepertinya dia adalah orang yang baik. Ia sering menolong bapak tuna netra yang mengumpulkan barang bekas untuk dijual di sekitaran gang Bangka II ini.

Menasihati para gerombolan muda-mudi diujung gang yang sering nongkrong untuk sholat bersama. Pada sesama manusia, sepertinya penuh kasih sayang.

Tapi, permasalahannya di sini adalah: hidayah itu datang dari Allah Yang Maha Esa atau algoritma?

Nggak terasa ternyata hampir habis tigabat. Sebab, banyak juga warga yang kumpul di tempat ini. Tidak ditanya, bapak-bapak ini langsung berbagi cerita tentang nasibnya sambil main catur atau scrolling Facebook-nya.

Aku seperti diberi wejangan. Mereka satu suara kalau aku perlu bekerja lebih keras daripada biasanya. Karena di zaman sekarang ini apa-apa tentang duit.

Mereka banyak yang menyesal, kenapa waktu muda dulu tidak sekuat tenaga mempelajari ilmu yang dibutuhkan sekarang.

Mereka mengakui juga kalau kompetensi mereka akan dibuang. “Kita nih nggak lama lagi bakal kalah, Mas,” ujar Bapak RT.

“Kita akuin nih. Tapi seenggaknya, meski kalah, kita masih bisa bareng-bareng dan ketawa-tawa di sini ‘kan? Bisa bantu bareng-bareng. Yang penting bisa makan,” tambahnya.

Atiku makdeg. Pengakuan atas kekalahan ini diucapkan dengan tegar. Menyadari kalau membantu sesama jadi jaring terakhir penyelamat kehidupan.

Mereka menganggap bahwa diriku menang karena berhasil menguasai era digital dengan mudah. Segala skill teknis yang kumiliki hingga umur yang masih muda di-elu-elukan.

Ingin rasanya berkata, “Pak, saya pun juga belum menang. Selama masih ada orang-orang yang terpinggirkan dan susah makan dari dasar negara yang katanya ‘Pancasila’ ini, saya juga masih tetap kalah”.

Dalam kekalahan ini, senang rasanya bisa berkawan dengan bapak-bapak warga Mampang.

Untuk semua yang kalah, semoga dirimu terberkati.

Taman Ismail Marzuki | 17 September 2022 | 15.47

--

--

Bima Anditya

A Wisdom-seeker. Find it through melody, words, and jokes.